oleh : Septiana Tri
Jam telah menunjukan pukul dua malam,
longlongan anjing sayup terdengar dari kejauhan, semakin sering. Jalanan
semakin lenggang, hanya angkutan umum yang sesekali melaluinya. Gerimis telah
menyapu orang-orang untuk beraktifitas di malam itu, karena udara telalu dingin
walau hanya untuk keluar rumah.
Sekar masih tertunduk dibawah naungan atap
halte tua disuatu jalan kota, dengan membawa kopor besar, dia menerawang. Dia
melamun dan limbung. Sulit untuk dihapuskan dari ingatannya apa yang telah
terjadi kurang lebih dua tahun yang lalu, Ketika ayahnya ingin sekali menikahkan
dirinya dengan Roy, anak teman ayahnya. Berkali-kali ayah membujuknya,
berkali-kali pula Roy datang memohon kepadanya, namun Sekar tak pernah mau
menerima pinangannya.
Setelah ayahnya mulai putus asa, ahirnya
pertengkaran diantara mereka tak terelakan. Sekar berkata bahwa dia tak pernah
mencintai Roy dan dia lebih menikmati hidupnya dengan mencintai Arum, sahabat
kecilnya. Mendengar alasan itu, seluruh keluarga tak dapat menerima keputusan
yang diambilnya. Ayahnya pun semakin kecewa dengannya, dan terlanjur malu
dengan keluarga Roy.
“Pergi saja kau jika seperti ini,
darimana kau mendapatkan ajaran-ajaran sesat itu hingga perilakumu melenceng
dari agama?” ungkap ayahnya, murka.
“Sekar, keluarga kita adalah keluarga
yang baik, dan ibu tak pernah mengajarimu hal seperti itu,” ujar ibunya berurai
air mata.
Semua perkataan yang didengar Sekar
telah melukai hatinya. Namun dia putuskan untuk diam dalam menghadapinya. Malam
itu dia meninggalkan rumah dengan hanya berbekal beberapa baju dan uang
beberapa puluh ribu yang dibawanya.
Keputusan besar Sekar ambil untuk
hidupnya, dia melepaskan jilbab yang telah menemaninya hampir separuh hidupnya
itu. Dia mengganti baju yang selayaknya dia pakai saat berjilbab dengan setelan
jeans dan jaket. Sekar berlalu begitu saja, tertelan oleh kesunyian malam.
Malam itu Sekar menggelandang. Dia tak
mungkin mengadu pada Arum, jarak yang cukup jauh antara Surabaya dan Jogja
memang terlalu jauh. Keragu-raguannya akan sikap Arum jika mengetahui bahwa Sekar
menyukainya juga menjadi alasan untuk tidak mengabarinya. Tidur di emperan toko
ahirnya dia lakukan dengan berbekal kardus bekas yang dia dapat dari seseorang ibu
tua yang merasa iba dengannya.
***
Sepertinya dia memang tak punya pilihan
lain saat itu, butiran air mata mengalir deras di kedua matanya. Hawa dingin
segera menyerangnya, dia mencoba menghalaunya dengan memasukan tangannya ke
dalam cardigannya yang terbuat dari wool tebal. Gerimis mulai turun kembali,
terlalu dingin jika Sekar memaksakan diri untuk tidur di halte tua itu.
Seharusnya dia dapat bernafas lega
karena telah lepas dari mucikari yang membuatnya menjadi lacur sekitar dua
tahun lalu. Namun ternyata hidupnya sekarang lebih sulit, tak ada uang yang
cukup, setidaknya untuk mencari penginapan murah untuknya, bahkan tidak juga
untuk ongkos taksi.
Malam akan berahir, hampir saja pukul
tiga dini hari. Sudah sekitar tiga jam sekar duduk disana. Lamunannya melayang
menuju tante Min. seorang mucikari yang memperkerjakannya dulu. Walau
diperbudak olehnya, tanpa tante Min dia tak akan hidup selama ini, sudah pasti
dia akan kelaparan dijalanan lalu mati sebagai glandangan.
Dua tahun lalu Sekar dijual oleh seorang
laki-laki yang baru dia kenal disebuah kendaraan umum kepada Tante Min, ahirnya
nasib Sekar pun berada di tangan Tante Min. Mau tak mau, uang telah berpindah dari
tangan tante min menuju Suryo. Suryo adalah laki-laki yang belakangan ini
berprofesi menjadi germo resmi tante Min.
Malam-malam selanjutnya Sekar habiskan
untuk menemani banyak tamu laki-laki, menemani mengobrol hingga ahirnya
berlabuh pada kasur-kasur empuk, Sekar tersiksa karena itu semua. Dan sempat
dia menyesali keputusan yang dia buat dulu. Terkadang dia berpikir seharusnya
dulu aku menerima pinangan Roy dan menikah dengannya. Mungkin hidupnya tak
sesakit ini karena dia dapat tidur hanya dengan satu lelaki saja dalam
hidupnya.
Namun nasi memang telah berubah menjadi
bubur, bahkan telah berubah basi. Sekar tak dapat memutar ulang apa yang dulu
telah terjadi padanya. Ahirnya dia putuskan untuk tetap menikmati apa yang
telah ada didirinya. Beberapa waktu dia terlelap dalam kebahagiaan semunya dan
terkadang dia merasa tak ingin bangun lagi.
Sekitar seminggu yang lalu Tante Min
meninggal dunia dan belum diketahui sebab kematiannya. Semenjak itu, secara
otomatis polisi menutup praktek prostitusi yang dimilikinya. Dan secara
otomatis pula para pekerjanya harus meninggalkan tempat itu. Sebagian pergi
untuk pulang ke desa asal, sebagian lagi mencari mucikari-mucikari lain yang
mau menampung mereka.
Sekar kembali tersadar dari lamunannya,
bibirnya masih tertutup rapat, tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Kepala
Sekar mulai pening karena tak tidur semalaman. Dia letakkan kepalanya diatas
koper besarnya, matanya terpejam namun dia tak tidur. Dia ingat wajah-wajah orang
yang dicintainya, wajah ayah dengan emosi yang hampir meledak saat malam itu,
wajah ibu dengan guratan-guratan kesedihan, Hans adiknya yang hanya terdiam
melihatnya dan tentu saja wajah Arum yang menurutnya sangat indah.
Sekitar setengah tahun yang lalu Sekar
mendapat kabar bahwa sang ayah telah beristirahat untuk selama-lamanya. Sebenarnya
Sekar ingin sekali pulang, namun dia tak punya nyali untuk itu. Sekar tak sanggup
melihat kesedihan ibunya dan hans jika mereka mengetahui keadaannya yang
sekarang. Dia tak mau mereka tahu bahwa dia menjadi seorang pelacur.
Tiba-tiba wajah Arum menyelimuti
ingatannya, membuatnya merasa hangat walau dia ditengah-tengah udara dingin
yang menyergapnya. Dia ingat masa-masa indah dulu saat mereka bersama. Namun dua
bulan yang lalu dia dengar Arum telah menikah dengan lelaki pilihannya, dan Arum
tak pernah tahu jika sebenarnya sejak lama Sekar benar-benar mencintainya sebagai
seorang kekasih.
Memang seumur hidupnya, Sekar habiskan
untuk mencintai Arum, dan tak pernah seorang laki-laki pun yang menggantikan
posisi Arum. Namun dia putuskan untuk menyimpan saja rasa cintanya itu. Dia tak
mau rumah tangga Arum terganggu jika Arum mengetahui perasaannya. Dan lebih
dari itu, dia tak ingin Arum membencinya sehingga dia kehilangan Arum yang
manis itu.
Adzan subuh mulai berkumandang, fajar
mulai menyingsing. Otak sang kupu-kupu mulai berpikir keras. Dia mulai bertanya
pada dirinya, apa yang seharusnya dia lakukan. Dia mencoba meraba tentang
petunjuk yang seharusnya diberika Tuhan kepadanya. Dia mulai bimbang dengan keputusan apa yang harus
dia buat.
Lalu sang kupu-kupu putuskan untuk keluar dari etalasenya, dan kembali pada sarangnya yang bertahun-tahun lalu telah dia tinggalkan. Mencoba mengubur rasanya tentang Arum dan berharap Hans dan ibunya masih mau menyambutnya dengan maaf.
0 komentar:
Posting Komentar